Selama 6 bulan aku terbaring di kasur putih ini tanpa sadarkan diri. Namaku Novi. Ibuku pergi meninggalkanku ketika aku masih balita. Ia bekerja sebagai TKW demi mencari nafkah untuk keluarga ini, karena ayah tiada rasa tanggung jawab atas keluarga ini. Aku diasuh oleh Bi Sinta, adik kandung ibu hingga kini aku berusia 17 tahun. Aku benar-benar merindukan sosok ibu yang selama ini tak berada di sampingku. Bahkan ibu tak tahu bahwa aku mengalami koma.
Selama 6 bulan ini aku benar-benar tidak sadarkan diri. Sebelum aku mengalami kecelakaan hebat yang menyebabkan aku berada di atas kasur putih ini aku selalu bermain sendirian. Aku tidak ingin bermain dengan siapapun, kecuali ibu. Aku benar-benar merindukannya. Kadang aku berpikir mengapa ibu tega meninggalkanku. Namun aku hanya bisa terdiam tanpa mau mencoba menjawab pertanyaan yang selalu ada dibenakku itu.
Saat mengalami koma yang cukup panjang, banyak orang menjengukku disana. Namun aku tak dapat membuka mataku. Menggerakkan anggota tubuhku pun rasanya sulit sekali.
Saat itu dalam mimpiku yang terasa nyata saat ku mengalami koma, aku sedang bermain kejar-kejaran dengan asyiknya bersama ibu. Ibu mengejarku dan akupun lari sambil tertawa. Namun tiba-tiba saja aku jatuh pingsan. Di mimpiku ini aku pun mengidap penyakit berbahaya, kanker otak. Ibu segera menghampiriku dan membawaku ke kamar dengan rasa khawatir. Saat aku bangun dari pingsanku aku melihat ibu sedang mengelus-elus kepalaku sambil tersenyum dengan air matanya yang mengalir di pipi. Tiba - tiba ada suara burung aneh yang baru aku dengar. Burung itu hinggap di pohon dekat jendela kamarku. Burung itu berwarna hitam dan menakutkan. Aku bertanya pada ibu, burung apa itu. Namun ibu menjawab dengan gugup bahwa itu adalah burung kematian. Aku pernah mendengar mengenai burung tersebut. Orang-orang percaya bahwa burung itu menandakan ajal seseorang akan segera tiba. Disana aku merasa takut sekali. Ibu menenangkanku dan mencoba menghiburku.
“bu, ajal siapa yang akan datang?” tanyaku polos dengan sedikit rasa takut. Ibu membuka jendela kamarku dan bertanya pada burung kematian itu.
“wahai burung, siapa yang kau pikir akan datang ajalnya? Mengapa kau datang dan hinggap di kamar anakku?” tanya ibu pada burung itu. Namun burung itu hanya terus bersuara.
“baiklah, aku tanya sekali lagi. Ajal siapa yang kau kira akan datang? Jika kau menjawab tidak tahu, arahkan kepalamu ke bawah, jika ada seseorang yang kiranya segera meninggal, arahkan matamu ke orang tersebut, jika memang kau hanya bermain disini saja lebih baik kau segera pergi karena kau telah meresahkan,” ujar ibu.
Burung itupun berhenti bersuara. Aku dan ibu memerhatikan burung itu. Ternyata burung itu langsung menatap tajam padaku! Akupun kaget, ada apa denganku? Ibu pun kaget melihat burung itu melirik tajam padaku. Ibu tidak membenarkan hal itu. Ibu mengusir burung itu dan mencoba menenangkanku. Namun aku tetap sedih dan ketakutan jika aku mengingat tatapan burung yang menakutkan itu. Ibu menyelimutiku dan menenangkan diriku yang sedang gemetar dan akhirnya akupun tertidur.
Sore harinya aku terbangun. Tepat pukul 16.00 akupun pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Ketika aku melewati kamar ibu, aku mendengar ibu sedang berdoa sambil menangis “Ya Allah ya tuhan kami, kau mengetahui segalanya. Bahkan kau mengetahui kapan anakku dapat kembali ceria seperti dulu. Kapan dia akan sembuh dari penyakit ganas ini. Sesungguhnya hamba memohon kepadamu kesembuhan anakku Ya Allah. Sesungguhnya engkau maha penyayang dan maha penyembuh segala penyakit. Kabulkan doaku ya Rabbi. Aamiin.” Aku tak kuasa membendung air mata ini. Hingga akhirnya air mata yang terbendung pun membasahi pipiku saat aku mendengar doa ibu yang begitu menyayangiku. Aku masuk ke kamar ibu dan memeluk ibu erat yang masih mengenakan mukena putih bersih dan harum. Namun ketika aku memeluk ibu suara burung kematian itu terdengar lagi! Ia hinggap di pohon mangga depan kamar ibu. Aku melepaskan pelukan karena aku benar-benar takut mendengar suara itu. Ibu menenangkanku serta memanggil burung hitam itu.
“ada apa kau datang lagi kemari, wahai burung?”
“maafkan aku, tapi roh anakmu akan segera meninggalkan jasadnya,”
“apa maksudmu, hah?”
Ibu menghampiriku dan akupun memeluk ibu sambil menangis dengan air mataku yang deras. Aku ketakutan. Mata burung yang terbelalak itu melotot padaku.
“aaaaaa!!! Tidaaaakkkk!!! Pergi kamu! Aku ingin bersama ibu! Aku ingin bersama ibu! Pergiiiiiiii!!! Jangan ganggu aku! Ibu, tolong aku ibu! Aku ingin terus sama ibu! Ibu! Aku masih ingin beribadah yang banyak, Bu! Tolong aku..” aku teriak dengan histeris saat mata burung hitam itu terus terbelalak padaku. Aku masih erat memeluk ibu.
“Sabar, nak! Ibu disampingmu, kamu jangan khawatir! Burung! Pergi kamu!” ibu mengusir burung itu dan terus memelukku erat. Namun saat itu juga aku tak sadarkan diri. Aku pingsan.
“Novi, Novi! Bangun, Novi!” kata ibu sambil memukul-mukul pipiku. Ibu yang berwajah cemas kini menumpahkan air matanya. Ibu memelukku yang pingsan dan mencium keningku.
“Novi!!! Bangun!” teriak ibu. Namun aku masih belum sadar juga. Badanku lemah, aku tak berdaya, untuk membuka mataku saja rasanya sulit sekali. Akupun menyadari mungkin inilah saat aku harus pergi. Dan aku harus pasrah menerima semuanya.
“Novi, kamu jangan lemah seperti ini, Vi! kamu kamu ingin terus bersama ibu kan? Ibu disini! Kamu jangan pergi kemana-mana! Ibu disini! Berjuang, Vi! Kamu itu anak ibu yang kuat! Kamu pasti bisa melawan penyakitmu! Kamu bisa, Vi! Bangun, Vi! Ibu disini! Tuhaaaaann! Bangunkan Novi! Ia anak yang kuat, hiks hiks” ibu terus menyemangatiku dan tidak berhenti menangis.
“maafkan aku, tapi roh anakmu akan segera meninggalkan jasadnya,”
“apa maksudmu, hah?”
Ibu menghampiriku dan akupun memeluk ibu sambil menangis dengan air mataku yang deras. Aku ketakutan. Mata burung yang terbelalak itu melotot padaku.
“aaaaaa!!! Tidaaaakkkk!!! Pergi kamu! Aku ingin bersama ibu! Aku ingin bersama ibu! Pergiiiiiiii!!! Jangan ganggu aku! Ibu, tolong aku ibu! Aku ingin terus sama ibu! Ibu! Aku masih ingin beribadah yang banyak, Bu! Tolong aku..” aku teriak dengan histeris saat mata burung hitam itu terus terbelalak padaku. Aku masih erat memeluk ibu.
“Sabar, nak! Ibu disampingmu, kamu jangan khawatir! Burung! Pergi kamu!” ibu mengusir burung itu dan terus memelukku erat. Namun saat itu juga aku tak sadarkan diri. Aku pingsan.
“Novi, Novi! Bangun, Novi!” kata ibu sambil memukul-mukul pipiku. Ibu yang berwajah cemas kini menumpahkan air matanya. Ibu memelukku yang pingsan dan mencium keningku.
“Novi!!! Bangun!” teriak ibu. Namun aku masih belum sadar juga. Badanku lemah, aku tak berdaya, untuk membuka mataku saja rasanya sulit sekali. Akupun menyadari mungkin inilah saat aku harus pergi. Dan aku harus pasrah menerima semuanya.
“Novi, kamu jangan lemah seperti ini, Vi! kamu kamu ingin terus bersama ibu kan? Ibu disini! Kamu jangan pergi kemana-mana! Ibu disini! Berjuang, Vi! Kamu itu anak ibu yang kuat! Kamu pasti bisa melawan penyakitmu! Kamu bisa, Vi! Bangun, Vi! Ibu disini! Tuhaaaaann! Bangunkan Novi! Ia anak yang kuat, hiks hiks” ibu terus menyemangatiku dan tidak berhenti menangis.
Aku mendengar suara ibu yang begitu menggelegar dalam mimpiku, sehingga aku benar-benar ingin terus bersama ibu yang begitu menginginkanku.
Aku yang tadinya begitu lemah dan pasrah, akhirnya berusaha terus menggerakkan anggota tubuhku. Meskipun sulit aku yakin aku bisa menggerakkannya. Aku sangat yakin. Mencoba dan mencoba, itulah yang aku lakukan kini hingga pada akhirnya aku bisa membuka mataku yang terasa berat itu.
Ternyata saat itu aku terbangun dari mimpiku, otomatis terbangun dari koma yang telah menimpaku selama berbulan-bulan! Memang, disana ada ibu yang sedang menangis sambil menunduk dan menggenggam tanganku erat. Juga ada Bi Novi di ruangan putih ini. Di ruangan ini begitu bising dengan suara isakan orang – orang yang menangis.
“I...Ibu?” sapaku. Saat aku menyebut nama ibu, semua orang di ruangan itu hening seketika dan langsung melihat ke arahku.
“Novi! Novi!” teriak ibu dan bibi senang. Mereka memelukku yang masih lemas itu. Aku masih belum sadar apa yang terjadi.
“Ibu, Bi Sinta, A...aku dimana? Kenapa a...aku disini?” tanyaku bingung.
“Novi, ini di rumah sakit. Sudah berbulan-bulan kamu terbaring disini, nak! Kamu mengalami koma pasca kecelakaan yang menimpamu 6 bulan lalu, kan? Akhirnya kamu bangun, nak! Ibu merasa berhasil menyemangatimu untuk tetap hidup! Ibu hampir kehilanganmu tadi! Ibu sangat bersyukur kamu kembali,”
“I...Ibu?” sapaku. Saat aku menyebut nama ibu, semua orang di ruangan itu hening seketika dan langsung melihat ke arahku.
“Novi! Novi!” teriak ibu dan bibi senang. Mereka memelukku yang masih lemas itu. Aku masih belum sadar apa yang terjadi.
“Ibu, Bi Sinta, A...aku dimana? Kenapa a...aku disini?” tanyaku bingung.
“Novi, ini di rumah sakit. Sudah berbulan-bulan kamu terbaring disini, nak! Kamu mengalami koma pasca kecelakaan yang menimpamu 6 bulan lalu, kan? Akhirnya kamu bangun, nak! Ibu merasa berhasil menyemangatimu untuk tetap hidup! Ibu hampir kehilanganmu tadi! Ibu sangat bersyukur kamu kembali,”
Saat ibu mengatakan seperti itu, aku teringat mimpiku saat burung itu melotot padaku. Aku pingsan saat itu. Dan saat itu pula ibu terus menyemangatiku untuk terus bangun. Apakah kata-kata penyemangat itu adalah kata-kata penyemangat yang nyata yang keluar dari mulut ibu sehingga aku bisa membuka mataku sekarang?
“I..Ibu! aku kangen ibu! Aku sayang ibu! Ibu kemana selama ini?”
“Maafkan ibu, Nak! Ibu melalaikanmu, tapi percayalah, ibu sangat menyayangimu disana. Disana ibu tidak diperbolehkan pulang. Namun Bi Novi memberitahu Ibu tentangmu. Makannya ibu kabur dari sana.” Aku mengangguk.
Dokter masuk ruangan dan memeriksa keadaanku. Ternyata dokter mengatakan kondisiku sudah stabil meskipun tadi keadaanku sudah berada di ujung tanduk, namun dokter mengatakan bahwa ini merupakan suatu keajaiban yang luar biasa. Bisa bertahan di ujung tanduk adalah hal yang menakjubkan. Mungkin ini adalah kekuatan dari ikatan batin antara ibu dan anaknya yang tidak akan pernah terpisahkan oleh apapun kecuali dengan kehendak Tuhan YME.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar