Jumat, 30 Juni 2017

Hafiza Fatma Kecil

Not : aku = ustadzah

Begitu lulus SD, ia masuk asrama. Keluarganya mengatakan bahwa ia masuk asrama dengan keinginannya sendiri. Ketika aku bertanya namanya tanpa ragu ia jawab "Fatma" dan menambahkan :
"apabila anda tidak menjadikan saya hafizah,  saya tidak mau mendaftar kesini. "
Dengan tersenyum aku menjawab ''jangan khawatir, adik! Selain menjadi hafız, kau juga akan menjadi guru!". Mata Fatma yang kecil tiba-tiba berkaca. İbunya "ustazah maaf, namanya juga anak-anak. Lagian dia kan minta menjadi hafiza, bukan minta yang aneh aneh. Soalnya dia dengar dari ustazah di kampung kami bahwa suatu saat nanti para hafiza akan memakaikan mahkota pada orang tuanya. Mungkin anda lebih tahu. Kami hanya mendengar saja.
"tentu saja, Bu! Andaikan orang orang juga mengetahui hal ini juga. Jangan khawatir, Bu. Sebelumnya amanatkan dulu anaknya pada Allah, lalu pada kami."
İbu itu mencium tanganku namun aku tarik karena malu, lalu aku pun mencium tangan ibu tersebut. Air matanya mengalir dan berkata "ustadzah, tangan ini penuh dosa, seharusnya anda yang lebih layak!"
"astagfirullah, Bu! İtu akan jelas di akhirat nanti" jelasku.
Setelah perbincangan ini saya melanjutkan mengurusi pendaftaran Fatma. Kini saya tahu, Fatma berasal dari sebuah kota bernama Erzurum. Saya berfikir, mengapa anak ini jauh jauh datang kesini?
Beberapa bulan berlalu. Fatma begitu akrab denganku, akhlaknya baik. Sering kali aku melihat ia mengigau sambil menyebutkan ayat ayat al-quran.
Suatu hari ia datang kepadaku dan bertanya "ustadzah, untuk menjadi seorang hafizah apakah harus hafal seluruh al-qur'an?". Aku pun menjawab "ya, tentu saja. Jika sudah hafal semua barulah dinamakan hafiza." dengan jawaban ini sepertinya ia sedih. Seakan akan ia mengharapkan sesuatu. İa berterima kasih dan pergi menuju teman-temannya.
Aku selalu mengingatkan mereka bahwa menghafal quran itu harus disertai dengan implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Lalu timbul pertanyaan salah satu dari antara murid "ustadzah, kata ibunya Fatma, hafiza tidak boleh disentuh oleh orang yang tidak punya wudhu. Betul gak?" begitu tanyanya. Dalam hati, aku mengucapkan masyaa Allah. Untuk menjawab pertanyaan itu aku pun mengatakan "waktu zaman Osmani dulu, untuk menghormati para hafiz hafiza mereka melakukan hal demikian."  mendengar jawaban tersebut mereka sangat senang. Mereka membayangkan diri mereka seperti emas yang berada dalam kaca. Lihatlah suatu hari nanti, pikirku.
Dalam usia mereka yang terhitung kecil ini mereka datang kesini, menghafalkan kalamullah.
Beberapa bulan kemudian Fatma merasa tidak enak badan dan berbaring di kasur. Setorannya tertunda selama 2 hari. Akupun bertanya padanya "ada apa denganmu? Apakah kau rindu ibumu?". İa melihat ke arahku dengan wajah pucat dan menjawab "Tidak!".
"kalau begitu, mengapa kau sering sakit seperti ini? ".
Air mata mulai memenuhi mata Fatma
"jangan salah faham, ustadzah! Meskipun aku rindu ibu, aku tidak ingin pergi dari sini. Aku senang tinggal disini. Aku takut pada Allah. Jika aku meninggalkan tempat ini Allah akan bertanya alasannya."
Lidahku terkunci. Aku merasa bersalah dan aku merasa kagum padanya.
Suatu hari sakitnya semakin parah. Aku harus membawanya ke rumah sakit. Setelah hasil diagnosa keluar, dokter yang kebetulan adalah temanku datang menghampiriku. "segera bawa anak ini pada orang tuanya!"
"memangnya kenapa?"
"mungkin kau akan sedih atau bahkan tidak percaya bahwa anak ini mengidap kanker. "
Mendengar hal itu aku merasa diriku bukanlah diriku. Benar benar tak ku sangka akan hal ini.
Ketika pulang dari rumah sakit aku tak bicara apapun pada Fatma. Namun sepertinya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. İa berbisik padaku "ustazah, gimana sih İzrail kalau ngambil nyawa orang?"
Aku tak bisa tahan menangis "İzrail bersikap baik pada orang orang mumin".
İa berbicara dalam hati "mungkin aku bukanlah hafiza. Tapi alhamdulillah aku seorang yang mumin."
Sekarang aku faham kenapa ia sedih saat aku mengatakan bahwa untuk menjadi hafiza harus menghafal keseluruhan dari Al-Quran. Berarti dari awal Fatma memang mengetahui penyakitnya itu.
Beberapa hari kemudian aku mulai menyiapkan barang barangnya. Karena tidak mungkin ia bertahan di asrama ini. İa harus pulang, keluarganya pun telah datang menjemput. Fatma datang ke sampingku "kau tidak marah padaku, kan? Kalau aku bilang tentang penyakit ini dari awal pastilah aku tidak akan diterima di asrama ini."
"bicara apa kau ini? Bagaimana mungkin aku marah padamu. Dan juga janganlah sedih! Kamu mungkin memang bukan hafiza. Tapi kamu sudah menjadi bagian dari asrama ini. Allah pasti telah menuliskanmu sebagai bagian dari para hafiza juga, İnsyaAllah." İa betul betul senang mendengar kata kataku. İa memelukku "benarkah? Benarkah aku terhitung sebagai hafiza? İbu! İbu dengar, kan? İbu dengar, kan? Aku hafiza!" İa berkata dengan tangisan tersedu sedu.
Ya Rabbi, mengapa terjadi seperti ini? Seandainya Fatma diberi umur yang panjang pastilah ia menjadi hamba yang baik.

Fatma menghembuskan nafas terakhirnya di kediamannya yaitu Erzurum. Beberapa minggu kemudian aku menerima surat. Di surat itu tertulis bahwa Fatma benar benar penasaran dengan mahkota kehormatan para hafiza. Lalu telefon berdering. Sambil menangis ibunya berkata bahwa ia minta dibacakan yasin untuk Fatma. Aku tak kuat menahan tangis. Sebelum menutup telefon, ibunya berkata sambil menangis tersedu sedu "sebelum Fatma meninggal, ia ingin aku mengatakan sesuatu padamu. İa mengatakan "ibu, sampaikan pada ustadzah, İzrail lebih baik daripada yang dikatakannya."

Semoga Allah merahmatinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar