Pagi itu aku sudah menghampiri teteh untuk belajar. Teteh adalah panggilan pada sahabat terdekatku di pesantren. Beliau 1 tahun lebih awal lahir daripadaku. Karena beliau lebih banyak "minum garam", mengecap pahit dan manisnya kehidupan dan yang terpenting lebih banyak mengambil hikmah lebih banyak dari setiap episode kehidupan, maka aku menghormati beliau dengan sebutan teteh (kakak). Aku adalah murid teteh yang berambisi mengejar beasiswa untuk belajar di Turki. Konon katanya tahun lalu teteh pernah lolos ikut tes beasiswa Turki, namun jawaban dari istikharah nya mengarahkan teteh ke tempat lain. Inilah sebab pertemuan kami kala itu.
Suasana pesantren adalah hal yang baru bagiku. Belajar kitab dan ilmu yang beraroma arab gundul membuat diriku gelagapan. Ketika aku tanyakan pada teteh tentang tes beasiswa itu, ia menjawab dengan jawaban yang mengundang rasa pesimisku.
"Tesnya hafalan juz 30, fiqih, nahwu shorof, ilmu kepesantrenan dan sebagainya." Aku menganga saja. Hafalan? 1 juz pun tak punya. Yang lain pun aku tak tahu apa-apa.
Keinginanku untuk study abroad mendobrak benteng kesulitan itu dalam beberapa bulan. Aku berguru pada teteh yang lebih awal dan lebih paham masalah pesantren. Awalnya karena ketawadhu'an teteh, ia bilang bahwa ia pun tak tahu-menahu tentang ilmu itu sehingga ia menolak untuk menjadi tutor dan guru bagiku. 'mana mungkin tak tahu tapi lulus tes?' dalam hatiku curiga.
Tiap lensa mataku menangkap sosok teteh, aku 'sergap' dan 'culik' dia sampai mau mengajariku. Untuk hafalan juz 30, kita bersama-sama bergabung dengan komunitas JMH (Jam'iyyatul Huffaz) yang waktu itu anggotanya hanya ada 6 sampai 8 orang saja. Teteh selalu rendah hati dalam mengajariku yang banyak tanya ini. Sabar dalam menghadapiku yang sering menculiknya tiba-tiba.
Usaha membuahkan hasil! Aku benar-benar lurus menerima beasiswa! Teteh benar-benar guru yang sukses! İa tak pernah menghilangkan ukhuwah diantara kita. Ketika aku di Turki, ia selalu bertanya padaku tentang hikmah-hikmah yang telah aku dapat di negara itu. Seringkali aku mengabaikan pertanyaan-pertanyaan teteh dan membiarkan pesan itu ceklis berwarna biru. Salah satu alasannya karena aku seorang introvert yang tidak menyukai texting dan membalas pesan basa-basi.
Walaupun berbagi hikmah bukanlah sekedar basa-basi, prioritas waktuku dalam menggunakan HP menundaku untuk membalas pesan-pesan teteh. Aku punya tekad dalam hati untuk bercerita pada teteh saat nanti kami bersuara lagi.
3 tahun aku di Turki. İtu berarti sudah hampir 5 tahun aku berpisah dengan teteh. Teteh selalu menyapaku dengan hangat. Pesan-pesan whatsapp-nya tidak pernah terkesan cuek dan dingin seperti pesan-pesan ku. Ia ingin sekali menimba ilmu di tempatku mengajar sekarang. Ya, teteh adalah sosok yang haus Ilmu Alquran. Cintanya pada al-qur'an membuat dia menyatakan siap jadi apapun di sini, asalkan bisa mendapatkan pengalaman tinggal di asrama alquran, yaitu tempat mengajarku sekarang. Walau jadi apapun itu.
Aku yang sering dianggap sebagai orang yang terlalu serius, menanggapi pesan teteh pun dengan serius. Kebetulan di sini sedang membutuhkan koki untuk masak makanan santri, aku ajak teteh kesini. Niatnya menjadikan mimpi dan keinginan teteh untuk tinggal di sini menjadi nyata, dan supaya kita bisa bersama sama lagi. Benar-benar ia menyanggupi dan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Terhanyut diriku dalam kerinduan di hari pertemuan setelah perpisahan panjang dengan teteh. Yang aku sayang kan adalah kita tidak bisa satu ruangan tidur sehingga kita tdk bisa bertukar cerita sebelum tidur. İa lebih banyak berkutik di dapur sedangkan aku dengan enaknya duduk mendengarkan setoran santri. Aku benar-benar masih menganggap teteh sebagai guru, walaupun keadaan mengelabui mata mereka. Bahkan dalam keadaanku yang paling terpuruk pun aku selalu minta nasehat teteh. Dia selalu berusaha mencarikan jalan keluar dari permasalahan permasalahanku, padahal dia sendiri memiliki masalah yang butuh dicarikan jalan keluarnya. Aku tak sepandai teteh dalam menyelesaikan masalah. Hal ini yang juga aku sedihkan, aku tidak bisa berperan banyak dalam membantu masalah-masalah teteh. Dalam kesepian ku teteh selalu hadir membawa hikmah hikmah baru yang menumbuhkan semangatku yang juga baru.
Aku melihat dari kejauhan saat ia sedang memasak. İa kelelahan dan duduk. İa makan sendiri di lantai. İa merasa tak layak jika harus makan di meja sama-sama dengan kami, padahal sama-sama orang yang berkhidmat untuk santri penghafal Alquran.
Yang membuatku terpukul adalah ketika orang berlaku semena-mena pada teteh. Menyakiti dan membuat kesabaran dirinya teruji dengan serius. Tak kuasa aku melihat orang-orang menyuruh teteh seenaknya untuk ini itu. Minta buatkan ini dan itu, minta pijat, minta ngurusin yang sakit, dll. Teteh adalah hâmilul quran! Ada quran yang harus dimuliakan pada dirinya! Tak layak diperlakukan seenaknya. Aku tak rela teteh duduk di lantai sedangkan aku di meja. Kita berada di atap yang sama, aku bahagia dekat bahkan tiap hari berjumpa dengan teteh. Kebahagiaan yang tak pernah terlupakan. Tapi aku tak mau jika harus dilayani teteh, hanya karena posisiku sebagai guru dan teteh sebagai koki.
Aku sebagai murid teteh, belum bisa khidmat dengan baik pada teteh.
Teteh mau putuskan untuk menuntaskan hafalan Alqurannya di tempat lain. Aku sedih karena tteh tidak akan bertemu dan mengajarkanku hikmah tiap waktu lagi. Tapi aku juga harus mengubur egoku.
Memasak di dapur semua orang pun bisa melakukannya. Tapi semangat menghafal belum tentu dimiliki setiap orang sehingga ia yang memilikinya harus benar-benar disalurkan dan dikembangkan terus-menerus.
Jika mereka menghormatiku karena Alquran, teteh harusnya lebih dihormati karena bukan hanya pada hafalannya, Alquran telah bersemayam dalam hati teteh. Selamat berjuang ya, teh!
Aku yakin Allah memandang teteh layaknya Khadijah, wanita terhebat sepanjang masa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar