Rabu, 01 Juli 2020

Cerita Hikmah Guru Terbaik

Ini adalah cerita guru terbaikku...

Tahun lalu aku pulang dari Turki. Aku benar-benar merindukan teman-temanku yang dari dulu selalu mewarnai hari hariku. Salah satu dari mereka adalah Risma. Dia adalah salah satu teman terbaikku. Dia tak pernah lupa untuk selalu menanyakan kabarku. Walau terkadang aku lupa menanyakan kabarnya dan selalu bersikap jutek, dia tak pernah lelah untuk memastikan aku baik baik saja.

Dia adalah temanku ketika SMP. Aku sering berbagi cerita dengannya tentang hal apapun. Suatu hari ketika kita sedang bertukar cerita, dia pamit duluan karena akan mengerjakan tugas dari gurunya. Aku penasaran tugas apa yang dia dapatkan. Akhirnya dia memintaku untuk membuka kitab Tafsir Jalalain. Saat itu aku diminta untuk membacakan kitab yg tdk ada harakatnya alias kitab gundul.
Jujur, aku belum pandai dan mahir dalam membaca kitab. Masih perlu banyak latihan lagi. Aku mengakui pada Risma bahwa aku belum bisa dan aku pun mengatakan ingin belajar. Saat aku membaca harakat yang salah, dia menertawakan dan mulai membanding bandingkan diriku dengan yg lain. Dia memaki dan mengejekku dengan hal yang menyakitkan, hanya karena aku tidak pandai membaca kitab gundul. Aku bertanya bagaimana cara membaca kata ini dan itu? Dia hanya terdiam dan bilang "pikirin aja sendiri". Aku bilang aku akan belajar, dan kalau bisa aku minta dia untuk mengajariku. Tapi dia mengatakan "telat! Percuma aja ngajarin kamu!" . Dia langsung mematikan teleponku begitu saja. Itulah yang membuat akhirnya aku ciut.

Ya aku mau belajar tapi posisi sekarang aku terikat dengan instansi lain, jadi ya ga mungkin aku tiba-tiba minta izin untuk belajar di luar. Aku sedang melaksanakan tugas dan tanggung jawab disini. Maka aku cari cara bagaimana caranya aku bisa belajar dengan tidak meninggalkan tanggungjawabku. Akhirnya aku minta bantuan dia untuk mengajariku.

Tapi aku tidak habis pikir mengapa dia seperti ini. Aku yang mengenalnya tak pernah menyakiti orang lain, aku yang mengenalnya sangat perhatian dan baik hati kini berubah begitu saja. Semua terjadi setelah dia mengetahui kebodohanku. Dia tak menghubungiku sama sekali setelah kejadian itu.

Aku tau aku belum fokus dan serius pada kitab gundul, aku memang harus belajar lagi. Tapi kata-kata dia yang menyakitkan seakan menghujam niatku untuk belajar lagi dan lagi. Aku hampir benar benar putus asa.
Aku katakan aku menyerah untuk menimba ilmu ini. Aku telat! Aku tidak ingin belajar kalau memang kebodohanku hanya bisa dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.
Benar benar HAMPIR putus asa. Aku masih sedih, aku mencoba untuk menghilangkan pikiran pikiran negatifku saat itu.

Biasanya setiap malam Risma rajin menanyakan kabar dan asyik kembali untuk bercerita dengan cerita berbeda tiap harinya.

Malam ini aku tidak menerima kabarnya lagi. Disana aku berkesimpulan bahwa "bodoh itu menyakitkan."
Ingin rasanya share kata kata itu di medsos. Tapi, untuk apa?

Aku hanya bisa merenungi kejadian menyakitkan itu saja. Dengan meminta pendapat orang orang terdekat, apa yang harus ku lakukan?

Masa KBM online seperti ini, aku memiliki kesempatan menggunakan HP sampai jam 11 malam. Setelah itu peraturan tetaplah peraturan. Supaya tahajud tidak kesiangan, jam 11 semua kegiatan harus sudah diselesaikan.

Tepat jam 11 saat aku akan mematikan handphone, telepon berdering tanda ada panggilan yang masuk. Ternyata itu RISMA! Aku sebenarnya bingung mau angkat tapi kesedihanku belum pulih 100%. Tapi Bagaimanapun juga aku tidak boleh egois dengan hanya mementingkan kesedihanku.

Bismillah... Aku menghela napas dan mengangkat telepon. Alhamdulillah aku bisa berbicara seperti biasanya dan melupakan apa yang dia katakan saat itu.
Dia membuka percakapan dengan bertanya seperti ini "kamu tidak marah, kan? Apa kamu ngambek?"

Wah ternyata memang dia tau kalau aku bakalan down begini, makannya awal percakapan dimulai dengan perkataan itu. Aku berusaha memulihkan emosiku agar tetap stabil dan akhirnya aku sudah "menghijaukan" semuanya dan disana aku menyambut panggilan dia seperti biasanya. Aku bilang aku hanya mengambil pelajaran saja dan memang aku yang belajarnya tidak serius selama ini. Tidak ada pula alasan untuk aku ngambek atau apapun. Dia bertanya berkali kali meyakinkan bahwa aku tidak marah sedih dan ngambek.

Ketika aku mendengar Risma berbicara aku selalu bersugesti dia adalah sahabatku yang baik. Alhamdulillah aku bisa ikhlas terhadap apa yang pernah dia katakan padaku.

Dia mengatakan "bagus kalau kamu gak ngambek. Aku gak mau kalau ngajarin orang yang digituin dikit aja udah ngambek. Kamu tau sendiri kan kalau mau mendapatkan ilmu itu harus dengan kesungguhan alias mental yang kuat. Aku juga ga suka seandainya ada orang yang posting status yang isinya menyindir nyindir. Atau dia meluapkan semua emosinya pada medsos sehingga semua orang tau, aku gak suka yang kaya gitu by the way."

Untung aku enggak posting apa-apa. Dalam hati :D

Setelah dia mengatakan seperti itu aku paham ternyata dia kemarin hanya menguji seberapa yakin aku mau belajar kitab, sekuat apa keteguhanku saat aku menemukan kesulitan. Seberapa lama aku bisa aku bersabar dalam kesedihan, dengan tidak menyebar kesedihan itu pada banyak orang apalagi media sosial.

Lalu dia berkata "dan sebenarnya aku tidak menyalahkan kamu kalau kamu bertanya. Tapi kenapa aku ga jawab, kamu tau? itu karena kamu selalu ingin dapat jawaban dengan cara yang instan, padahal kamu mampu untuk berpikir terlebih dahulu. Ingat nih, salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan tûlû zamânin, waktu yang panjang"

Disana aku akhirnya menyadari kesalahanku adalah terlalu sering bertanya, padahal aku bisa mikir dulu. Ok, insyaallah tidak akan aku ulangi lagi.

"okay, kalau gitu aku kasih kitabnya, kita belajar dari awal. Buka halaman sekian sekian..." kata Risma.

MasyaAllah... Tabarakallah... Dia benar benar mau mengajariku! Aku lulus jadi muridnya!!!

Kalian ingat Risma meneleponku jam berapa? Ya! Jam 11 malam waktunya HP harus aku kumpulkan. Tapi jam itu juga pelajaran kitab pertamaku akan dimulai. Aku bingung masa iya Risma yang sudah berbaik hati mau ngajarin aku tapi tiba-tiba aku izin krna hp harus dikumpulin? Akhirnya aku nekat izin pada ketua asrama untuk belajar tengah malam seperti ini. Alhamdulillah diizinkan.

Risma memang sengaja meneleponku jam segitu. Dia tau jam 11 adalah waktunya kumpul HP. Dia mau lihat sebesar apa pengorbananku pada ilmu sehingga ketika dia mendengar aku sudah izin, dia pun rela dan mulai mengajarkanku sampai aku paham.

Di tengah tengah pelajaran dia bilang "bentar, aku mau minum susu dulu ya". Aku harus rela menunggu sampai dia kembali lagi. Saat dia membuat susu, jaringan internetku tiba tiba mati!!! Aku khawatir dia mengira aku yang mematikanya. Aku cari cara menghubungkan kembali dan agak lama sih pulihnya tapi pulih juga.
Aku lihat Risma menelponku 2x dan tidak terangkat. Aku telepon dia balik dan dia menolak panggilanku. Aku telepon lagi dia tolak. Aduh jangan jangan aku benar benar ga lulus jadi muridnya dia? Panggilan ditolak mentah mentah begini. Pikirku. Tapi aku masih punya harapan.

Aku tunggu beberapa lama untuk aku hubungi ke 3x nya. Sekitar pukul 00.30 aku hubungi dia untuk yang ketiga kalinya. Dia menjawab dan masih mau mengajariku, alhamdulillah...
Disini aku menyadari bahwa mendapatkan ilmu harus dengan kesabaran tanpa putus asa.

Ketika belajar, aku memang tidak sempurna dan kadang masih salah baca. Dia bilang padaku "dasar murid bodoh". Awalnya aku sempat tersinggung, tapi rasa respect aku terhadap ilmunya Risma membuat aku tidak peduli apa yang akan dikatakannya padaku. Aku hiraukan dan hanya tertawa kecil, aku mengiyakan "ya kalau aku pinter, aku ga akan minta belajar sama kamu."

Dia pun melanjutkan pelajaran.

Sering sekali dia mengucapkan aku murid yang bodoh. Alhamdulillah aku sudah biasa.
Atau kalau bukan perkataan "murid bodoh", dia selalu menyindirku "lah katanya lulusan Turki, katanya Hafidzah, katanya Juara Umum". Kali ini aku katakan padanya "Ris, tolong hilangkan semua gelar itu selama aku jadi murid."
Dia pun menjawab " memangnya MURID bukan gelar?"
Aku terdiam. Dari sini aku merasakan betapa pentingnya rendah hati di depan guru. Selama jadi Murid, kita perlu menghilangkan semua kehebatan kita. Cukup satu gelar yang pasti. MURID.

Pelajaran berlangsung tiap hari. Mulai saat itu dia benar benar mengajariku dengan cara yang baik sampai aku paham. Terkadang kita belajar sambil bertukar cerita di akhir atau awal pelajaran.

Dia bercerita, suatu hari ada seseorang yang terlalu "pinter". Karena saking pinternya, dia menggunakan akal kepintarannya itu untuk mengorek kesalahan-kesalahan orang lain. Cerita penuh hikmah dia ceritakan. Kesimpulan yang dia katakan di akhir cerita ini adalah "ada sesuatu yang harus kita ketahui dan ada juga yang tidak harus kita ketahui, Nit. Makannya jadi orang gak perlu pinter pinter banget, nanti ya kaya bgitu."

Disini aku paham kenapa dia selama ini selalu bilang aku murid bodoh, karena dia ingin aku untuk tidak 'terlalu' pintar sehingga terjadi kejadian seperti apa yang dia ceritakan dalam cerita tadi. "ya pinter sewajarnya aja, daripada pinter keblinger" kata dia.

Untung saja aku tidak langsung tersinggung dan marah saat dia bilang "murid bodoh" :D
Disana aku benar benar ikhlas dikatakan murid bodoh. Karena aku yakin, perkataan orang yang berilmu tidak akan jauh dari hikmah.

Aku benar-benar mengagumi cara dia mengajarkanku. Dia tidak hanya mengajariku ilmu, tapi juga banyak hikmah diajarkannya dan aku merasakan perjuangan dan pengalaman menimba ilmu itu tidak selalu mudah.
Kebayang gak perjuangan ulama-ulama zaman dulu gimana mereka belajar? 

Nah, dari sini dia bilang mau mengajariku secara intens...
Aku merasa beruntung punya guru sekaligus kawan seperti dia.

Dari kejadian itu aku paham apa yang dimaksudkan :

أَلاَ لاَ تَنَـالُ الْعِلْـمَ إِلاَّ بِسِتَّـةٍ * سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانِ

Ingatlah, engkau tidak akan sukses meraih ilmu, kecuali dengan enam (hal) * saya akan menjelaskan seluruhnya secara gamblang.

ذُكَـاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ * وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانِ

(1) Cerdas (berakal); (2) Antusias (hobi belajar); (3) Sabar (gigih dan tabah); (4) Biaya (sarana-prasarana) * (5) Bimbingan guru; (6) Waktu lama.


Aku sangat merasakan tiap point ini.

Pertama, kecerdasan.
Dia bilang menuntut ilmu tidak perlu pinter pinter amat. Maksudnya ya bukan berarti tidak berakal juga, kan? Dia melihatku katanya punya potensi akal untuk belajar maka dia uji aku dengan point yang lain.

Yang kedua, antusias.
Dari awal aku minta dia ajarkan aku ilmu kitab, karena aku senang mendengar dia lancar baca kitab gundul. Antusias mulai muncul walau aku hampir putus asa. Aku HAMPIR saja gagal dalam ujian antusias kali ini. Tapi alhamdulillah lulus terlewati.

Ketiga, sabar.
Ini point penting yang juga mendominasi. Seandainya aku tidak sabar saat dia membuat susu tengah malam, seandainya saya tidak sabar dan malah mengumbar kesedihan di medsos, seandainya aku tidak mengangkat panggilan dia dalam keadaan aku masih bersedih, seandainya aku tersinggung dikatakan murid bodoh dsb, maka aku tidak akan pernah jadi muridnya sampai sekarang. Alias aku akan kehilangan kesempatan untuk belajar kitab darinya.

Point ke 4, biaya.
Ini memang perlu. Seandainya tidak ngemodal wifi atau kuota, seandainya ga punya hp, seandainya ga ada sarana dan prasarana, ya ga mungkin terjadi proses KBM ini.

Point 5, Bimbingan Guru.
Ini juga penting. Makannya aku butuh dan minta dia jadi guruku karena aku tidak bisa mempelajari kitab gundul itu sendirian. Bagaimana caranya aku butuh bantuan. Untungnya dia adalah teman dekatku yang bisa aku curi ilmunya :D

Point terakhir, waktu yang lama.
Memang iya, aku pernah belajar kitab. Tapi sebentar doang. Makannya ilmunya ga dapet-dapet banget karena ilmu itu memang harus dikaji dalam waktu yg lama dan berkelanjutan. Sebab itulah Risma tidak langsung menjawab pertanyaan yang kiranya aku tau sendiri jawabannya dengan berpikir dulu. Kalau dia langsung jawab, menandakan aku selalu ingin sesuatu yang instan dan praktis. "kalau gitu belajar aja sama google atau youtube!" katanya menyindir. Dia bilang "kamu ketuaan kalau mulai belajar kitab dari sekarang, kepentok nikah susah nanti belajarnya"
Kali ini aku jawab "ilmu tidak mengenal usia, Ris".

Selain itu aku juga teringat kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib :
"Barang siapa yang mengajariku satu huruf, maka aku siap menjadi budaknya".

Ini mewakili perkataanku pada Risma yang aku rasa benar benar ikhlas mengajariku tiap hari secara privat tanpa minta imbalan apa-apa. Aku bingung bagaimana membalas jasa dia. Aku bukan orang yang punya harta benda berlebih. Maka aku titipkan Risma pada Dia Yang Maha Kaya untuk diberikan imbalan yang sesuai :)
Disini aku sadar juga, jasa guru itu tak terbayarkan.
Semoga Allah Memberkatimu selalu, Ris :)

Inilah cerita tentang Guru Terbaikku, Pengalaman namanya.
Terima Kasih yang sudah berpartisipasi memberikanku pengalaman-pengalaman baru :)
Jasa kalian takkan pernah terbalaskan :')

*Risma = Nama samaran :)

Aku harap kawan kawan bisa mengambil hikmah juga dari pengalamanku :)

See you later :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar